Minggu, 17 November 2013

MEMORI SATU MALAM_PART 2

“Sebenarnya itu juga yang jadi pertanyaannya sekarang, Vi. Kok bisa si Niar doang yang keracunan, sedangkan kita dan pengunjung hotel lainnya enggak ada masalah sama makanan semalem.” Kata perempuan disebelah kananku.

“Kita??” tanyaku heran

“Ya iya kita… Kemaren kan kita juga ada disana bareng sama Niar. Masa’ lu lupa juga?! Wah Kayaknya lu perlu ke dokter deh, Vi… Periksa memori otak lu…” jawabnya lagi.

“Feeling gua, kayaknya ada orang yang sengaja pengen nyelaka'in Niar deh.” Kata perempuan dibelakangku.

“Oh gitu…” komentarku dengan singkat

“Komen lu ngeselin, Vi… Udah ah masuk, jangan kebanyakan ngobrol. Pamali ngobrol didepan pintu orang yang lagi sakit.” Kata lelaki disebelah kiriku

Aku berjalan perlahan mengikuti mereka bertiga dari belakang. Meskipun sudah dijelaskan, aku tetap merasa bingung dan penasaran tentang keracunan makanan yang dialami oleh Niar. Lagipula siapa itu Niar ??
Saat telah memasuki ruangan,  aku pun melihat ada dua orang paruh baya yang tengah duduk tepat disamping tempat tidur pasien, sepertinya mereka adalah orangtua Niar. Selain itu terlihat pula seorang perempuan muda sedang terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Firasat kuatku mengatakan bahwa ialah sosok bernama Niar yang diceritakan tadi.

“Selamat siang, Om, Tante. Kami berempat temen-temen sekolahnya Niar. Maaf sebelumnya kalo kedatangan kami mengganggu Om sama Tante.” Salam lelaki muda yang tadi berdiri disebelah kiriku sebelum masuk keruangan.

“Oh kalian teman-teman sekolahnya Niar ya? Enggak ganggu kok, malah Om sama Tante seneng ada yang jengukin Niar.” Kata seorang perempuan paruh baya yang kuduga adalah ibunya Niar. Aku perhatikan kedua matanya sembap dan merah.

“Oh iya tante, ini ada sedikit buah dan makanan buat Niar,” kata lelaki itu lagi.

“Oh makasih ya nak, mestinya jangan repot-repot sampe bawa buah dan makanan seperti ini.” Kata pria paruh baya itu.

“Gak apa-apa kok, Om. Kita sama sekali gak ngerasa repot…” jawab perempuan yang tadi berdiri dibelakangku sebelum masuk keruangan.

“Sekali lagi terima kasih. Oh iya kalo om boleh tahu, nama-nama adik ini siapa ya? Kami juga ingin kenal dengan teman-temannya Niar.” Tanya lelaki paruh baya itu yang dapat kupastikan ia adalah suami dari wanita paruh baya yang kini duduk dibangku sampan tempat tidur Niar.

“Oh iya, perkenalkan nama saya Satria.”
“Saya Nikita.
“Saya Ivo.”
“Saya Vian.” Dalam hati aku merasa senang karena akhirnya aku tahu nama ketiga orang ini tanpa harus bertanya, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan seperti tadi.

“kami berdua ini adalah orangtua Niar.” Kata ibu itu sambil tersenyum ramah.

"kalau boleh tahu gimana perkembangannya Niar, Om?" tanya Ivo

"Yah, seperti yang kalian lihat saat ini. Belum ada kemajuan yang berarti. Niar masih koma dan belum ada tanda-tanda dia akan sadar." jelas Ayah Niar

"Kami semua mendo'akan Niar supaya bisa cepat sadar dan sehat lagi, Om." kata Nikita

“Terima kasih. Sebelumnya Om minta maaf sama Satria, Nikita, Vian, dan Tari. Om mau minta tolong sama kalian, boleh?”

“Boleh kok, om. Ada apa?” Tanya Satria


“Bisa kalian jaga Niar sebentar? Om sama tante mau pulang kerumah, jaraknya gak jauh kok dari sini. Kami berdua mau sekedar bersih-bersih dan membawa baju ganti untuk Niar, nanti om dan tante akan kesini lagi. Gak akan lama…”

-bersambung-

Sabtu, 09 November 2013

MEMORI SATU MALAM

PART 1

Lagi-lagi kudapati diriku sedang berdiri diam didepan sebuah pintu berwarna putih. Ditemani dengan beberapa orang yang sama sekali tidak ku kenal,

Dilihat dari bentuk pintu dihadapanku ini, dapat ku tebak bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit. Samping kanan kiriku, terdapat banyak orang yang tengah duduk di sebuah bangku panjang layaknya orang-orang yang ingin menjenguk pasien.

Aku menatap ke tiga orang yang sedari tadi juga terdiam sambil membawa bungkusan-bungkusan plastik putih berukuran besar, sepertinya plastik itu berisi buah-buahan dan makanan ringan.
Aku bertanya-tanya tentang siapa mereka dan alasan ku berada disini.

“Gimana? Kita masuk gak?” Tanya seorang perempuan yang berdiri tepat disebelah kananku
“Ya masuklah, masa’ kita udah sampe sini gak masuk.” Sahut seorang lelaki yang berdiri disisi kiriku.
“Jadi. deg-degan deh gue, kira-kira keadaan dia gimana ya?”
“Kita gak akan pernah tahu, kalo kita gak masuk.” Terdengar jawaban ketus dari seorang perempuan yang berdiri tepat dibelakangku. Semuanya terlihat seumuran denganku.

“Vian, lu kenapa sih?! Daritadi gue perhati’in diem aja. Lu gak sakit kan?” tanyanya lagi

Aku yang sejak tadi hanya diam dan memperhatikan ketiga orang ini berdebat, merasa terkejut ketika mendengar perempuan ini menyebut namaku dengan tepat.

“Emangnya kita kesini mau ngapain ya?” tanyaku

Mendengar jawabanku, ketiga orang itu terdiam dan menatapku dengan penuh heran. Aku tahu apa yang kini sedang mereka pikirkan dan yakin sebentar lagi mereka pasti akan kembali bertanya padaku.

“Vi, lu lagi bercanda ya? Kalo iya, jujur ya canda’an lu tuh gak lucu banget. Keadaan lagi gawat gini dan lu masih bisa bercanda?!” kata perempuan yang berdiri disisi kananku. Ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksukaan terhadap pertanyaanku barusan.
“Tahu nih. Garing banget sih lu !” Sahut perempuan dibelakangku.
“Gua gak bercanda, gua serius. Gua bener-bener lupa tujuan kita kesini tuh buat apa…” Kataku berusaha meyakinkan ketiga orang yang masih terheran-heran ini.
“Hah? Lupa?” Kata lelaki disebelah kiriku
“Iya. Gue minta maaf banget. Ada banyak hal yang lagi gua pikirin saat ini….” Kataku lagi
“Hufh ! Gini lho Vian, kita dateng kerumah sakit ini buat jenguk Niar. Dia lagi dirawat gara-gara jadi korban keracunan makanan di hotel kemaren.” Akhirnya perempuan yang berdiri dibelakangku menjawab pertanyaanku.
“Keracunan? Kok bisa?” tanyaku lagi
“Masa’ lu lupa juga sih soal kejadian dihotel kemaren?!”
Aku menggelengkan kepalaku dengan perlahan sebagai jawaban.
“Wah, parah banget sih lu… Masa ’masih muda udah pikun. Kalah bokap gua sama elu !” Komentar lelaki disebelah kiriku.

Aku tetap terdiam menunggu penjelasan selanjutnya.

-Bersambung-
                                                                                                  Mutiara Oktaviani

Jumat, 01 November 2013

SORRY... (Part 1)

SORRY…
 Bingung . . .

Itulah hal pertama yang aku rasakan ketika mendapati diriku sedang berdiri disuatu ruangan yang sama sekali belum aku kunjungi sebelumnya.

Aku menatap sekitar, berharap menemukan sesuatu yang hidup dan dapat diajak bicara mengenai tempat ini.

Kosong . . .

Tak ada makhluk hidup seperti diriku kecuali benda-benda mati seperti sofa, lemari berisikan gelas mewah dan perabotan mewah lainnya. Namun yang aneh ditempat yang ku anggap cukup mewah ini, sama sekali tak ada fasilitas penerangan seperti lampu layaknya rumah-rumah pada umumnya.

Aku mampu melihat apa yang ada sekitarku karena bantuan dari sinar putih yang masuk dari sebuah jendela yang berada di sisi kananku. Entah bagaimana, cahaya putih yang berasal dari luar ini mampu menyinari rumah yang sebesar ini.  Kulangkahkan kedua kakiku kearah jendela—yang membuatku akhirnya tahu bahwa sinar putih yang membantu penerangan dirumah ini berasal dari bulan berwarna putih yang menggantung dilangit biru tosca.

Aku berbalik dari jendela, kembali ketempat awal ku berdiri. Dengan seksama aku memandangi segala sesuatu yang ada didepanku.

WUUUZZZZZZ . . .

Terasa semilir angin menyentuh kulit-kulit ditubuhku. Tapi ada yang aneh dengan angin ini. Aku dapat merasakan bahwa angin ini bukanlah angin biasa melainkan ada sesuatu yang ikut terbawa olehnya. Sesuatu yang menurutku tidak baik.

Perlahan aku mulai melangkah kedepan. Aku menajamkan tatapanku untuk memandang segala sesuatu yang ada disekitarku dalam rumah ini. Sengaja aku berusaha mengurangi intensitas suara yang dapat dihasilkan dari sepatu atau hembusan nafasku agar dapat mendengar suara sekecil apapun yang mungkin akan muncul.

Tiba-tiba datang sebuah tekanan firasat yang sangat kuat dalam hatiku yang memberitahu bahwa aku mengenali rumah mewah ini. Aku kembali terdiam, kembali menatap sekitarku. Tapi tetap tak ada apapun yang mampu membantuku mengenali tempat ini.

Aku lanjutkan langkahku keruangan selanjutnya. Disana dapat terdapat sebuah sofa lagi namun kali ini ada seseorang yang tengah tertidur diatasnya. Aku benar-benar merasa bersyukur karena akhirnya menemukan sesuatu yang hidup.


Saat aku akan berjalan kearah sofa itu, kembali hati kecilku memberitahu untuk tidak melanjutkan langkah ke sosok yang tengah tertidur itu. 

#To be continued

SORRY... (Part 2)

Saat aku akan berjalan kearah sofa itu, kembali hati kecilku memberitahu untuk tidak melanjutlan langkah ke sosok yang tengah tertidur itu.

Lagi-lagi aku merasakan hal yang aneh. Bulu kudukku berdiri, dan aku tak berani menatap kebelakang ataupun kedepan. Aku tahu ada sosok tak terlihat yang kini tengah mengawasiku entah di mana tepatnya.

Aku hanya berani menatap kebawah dan aku tahu diruangan ini terdapat banyak kamar. Namun sayangnya tak ada satupun dari kamar-kamar ini yang pintunya terbuka. Sedangkan dihadapanku terdapat anak tangga menuju lantai dua. Lantai tersebut berbeda dengan lantai dasar yang aku injak ini. Disana terdapat penerangan yang sangat jelas. Nampaknya diatas sana adalah satu-satunya tempat yang dipasangi lampu. Namun ku urungkan niat untuk menaikinya dan memilih berjalan menuju salah satu kamar yang terletak disisi kanan tempatku berdiri. Aku menekan gagang pintunya dan . . . terbuka, aku pun segera masuk dan menutupnya kembali.

Dengan penerangan yang tak terlalu jelas, kedua mataku menangkap adanya lima wanita tengah berkumpul diatas tempat tidur--tujuh langkah dari tempatku terdiam.

Mereka menatapku dengan ekspresi terkejut luar biasa. Namun ekspresi itu dengan cepat berubah menjadi ekpresi penuh ketakutan luar biasa yang tergambar jelas dari wajah mereka.

Kira-kira dua puluh detik aku dan kelima wanita itu saling menatap tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hingga tiba-tiba wanita-wanita tersebut turun dari tempat tidurnya dan berlari kearahku. Mereka dengan ribut seperti mengatakan sesuatu tapi aku tak mampu mendengar apapun yang mereka katakan.

Kemudian mereka membuka pintu kamar, tak mau ditinggal sendiri aku pun mengikuti mereka dari belakang. Dengan terburu-buru mereka melangkah seperti ingin meninggalkanku. Aku tahu tujuan mereka oleh karena itu aku pun juga menyesuaikan langkahku agar tak tertinggal.

Tapi . . .


Karena kondisi penerangan yang sangat buruk membuatku sulit untuk mengikuti kelima wanita yang sedang berusaha menghindariku ini. Dan . . . akhirnya aku terpisah. Aku tak lagi dapat melihat kemana kelima wanita itu pergi.

#To be continued

SORRY... (Part 4)

Lima sosok itu mengenakan pakaian putih yang menutupi ujung kepala hingga kaki. Pakaian itu bermotif merah yang lebih mirip dengan bercak-bercak darah. Aku menajamkan penglihatanku dan terlihatlah adanya dua ujung ikatan simpul yang tersambung dengan pakaian mereka. Satu diatas kepala dan yang lainnya ada diujung kaki. Saat itu juga aku tahu bahwa sosok-sosok itu adalah CANDY GHOST atau di Indonesia disebut juga dengan pocong. Mereka melompat-lompat menuju arah kelima wanita tadi berlari dan akhirnya hilang dari pandanganku.

Aku benar-benar shock melihat apa yang ada didepanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku ikut masuk kedalam ruangan itu. Aku benar-benar yakin insting yang telah menyuruhku untuk tetap menunggu adalah perintah sekaligus bantuan dari Tuhan. Thanks GOD !

Dengan cepat aku berbalik ke ruangan semula dan menatap anak tangga dihadapanku. Aku berpikir sebentar untuk mempertimbangkan apakah aku harus naik atau sembunyi di kamar-kamar yang terdapat di lantai dasar ini.

“jangan naik . . . berbahaya . . . jangan naik . . .” aku kembali mendengar suara hatiku. Namun kali ini aku tak mendengarkannya dan nekat menaiki anak tangga menuju lantai dua, satu-satunya lantai yang diterangi dengan lampu.

Sesampainya diteras lantai dua, pandanganku segera beralih ke sisi sebelah kanan. Terlihatlah lorong yang sangat panjang dengan kamar-kamar disisi kanan dan kirinya. Namun sayang, dalam lorong itu kembali tak dipasangi lampu kecuali diujung lorong sana. 

Aku melangkah maju, hingga tiba-tiba aku mendengar derap-derap langkah dari bawah tangga.

Aku bersiap-siap mengambil langkah seribu jika yang aku lihat adalah kelima pocong tadi.

Sosok itu makin terlihat . . . terlihat . . . dan . . .

“stop stop stop jangan diteruskan !” ucap sosok itu.

Aku mulai dapat melihat wajahnya, dia seorang wanita. Kini dia sudah berdiri dihadapanku dengan nafas yang terengah-engah.

“stop jangan diteruskan, chie. . .”
“kau tau namaku???” tanyaku penasaran.

Siapa wanita ini dan kenapa dia bisa tahu namaku? Aku tidak merasa telah mengenalnya. Siapa dia…


“yaaa, aku tahu namamu… dan aku minta kamu hentikan langkahmu.”

#To be continued

SORRY... (Part 3)

Aku kembali diam, melihat baik-baik kesetiap sudut ruangan untuk menemukan kelima wanita itu.

Gelap . . .

Gelap . . .

Gelap . . .

dan

Akhirnya, aku dapat melihat mereka !
Mereka berlari dan menghilang disuatu sudut ruangan didepanku. Buru-buru aku berlari kearah tersebut, sesampainya dibelokan sudut ruangan aku mengintip dan melihat kelima wanita itu masuk kesebuah ruangan. Aku tak tahu ruangan apa yang telah mereka masuki dan aku tak berniat menyusul karena instingku menyuruhku untuk tetap menunggu.  

5 detik . . .

10 detik . . .

15 detik . . .

20 detik . . .

“KYAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHH !!!”

Terdengar teriakan riuh dari dalam ruangan tempat kelima wanita itu berada.
Aku terkejut dan hanya bisa diam terpaku. Aku sama sekali tak berani mendekati ruangan itu.

“BRAAAAKKK ! ! !”

Aku lihat pintu itu dibuka secara paksa. Kelima wanita itu masih berteriak histeris dan berlari berhamburan kearah yang lain. Aku hanya bisa diam melihat dari sudut ruangan yang tak dilihat oleh mereka. Hatiku bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi didalam sana.


Ditengah pertanyaanku, aku melihat ada lima sosok lagi yang keluar dari ruangan itu. Aku merapatkan tubuhku dengan sudut dinding agar tak terlihat namun aku masih mampu melihat mereka.

#To be continued

SORRY. . . (Part 5)

“kenapa tidak boleh?”
“ini daerah terlarang, jika pemilik tahu kau menginjakkan kaki disini, kau pasti akan kena hukuman yang berat.”

Apa? Daerah terlarang? Pemilik? Kena hukuman berat jika datang kesini? Apa maksudnya?

Aku tambah bingung dengan keadaan yang tengah ku alami ditambah dengan adanya kemunculan wanita dihadapanku ini. Dan nampaknya wanita yang sedang berdiri dihadapanku menangkap ekspresi kebingunganku.

“kita harus kembali kebawah, sebelum sang pemilik tahu kalau kita menginjakkan kaki didaerahnya.”
“apa? Kembali kebawah? Maaf, aku tidak mau. Disana terlalu banyak hal aneh.”

Wanita itu terdiam bingung dengan penolakanku.

“aku baru saja bertemu dengan pocong, dan tidak hanya satu melainkan lima ! dan sekarang kau memintaku untuk turun?? Tidak, terima kasih. Aku tidak mau.”

“tapi, keadaan akan jauh lebih buruk jika kau memasuki area ini…”
“aku tak peduli… kalau begitu kenapa tidak kau saja yang kembali ketempat gelap disana, untuk apa kau masih disini?!” aku melangkah maju—masuk kedalam lorong panjang disisi kananku.

“tunggu, aku tak bisa membiarkanmu masuk…!”
“terserah, kau mau bilang apapun untuk melarangku aku akan tetap disini. Aku tak mau kelantai sarang setan itu.”

Aku terus melangkah kedepan tak menghiraukan perkataan-perkataan dari wanita yang masih saja mengikutiku dibelakang.

Hingga aku berhenti di suatu pintu kamar berwarna cokelat. Namun tampaknya pintu ini dikunci dari dalam karena pintu kamar terlihat tertutup dengan sangat rapat.

“ruangan ini adalah ruangan sang pemilik rumah mewah ini. Hei aku pikir kita harus tetap pergi dari sini… jika tiba-tiba sang pemilik keluar lalu melihat kita, pasti dia akan sangat marah.” Wanita itu berbisik memberitahuku.

“aku tidak peduli apa yang akan terjadi jika dia melihatku…kalau kau ingin turun, turunlah sendiri.” Jawabku


Aku berbalik dari kamar yang katanya adalah tempat tinggal sang pemilik ke kamar disisi yang lain. Aku memegang gagang pintunya lalu menekannya dan . . .

#To be continued

SORRY... (Part 6)

Aku berbalik menuju kamar disisi yang lain. Kupegang gagang pintunya lalu menekannya dan . . .

“KLEK . . .”

Terbuka !

Aku memasuki kamar dan disuguhi pemandangan berwarna oranye dari dinding, tempat tidur, lemari-lemari pakaian hingga meja dan bangkunya. Tapi kondisi kamar ini benar-benar berantakan, terdapat banyak sepatu, pakaian, dan buku-buku serta majalah yang berserakan dimana-mana dalam ruangan. Aku mengambil pakaian itu dan aku pun tahu bahwa pemilik kamar ini adalah seorang wanita.

Disaat aku masih mencari-cari petunjuk dikamar ini, tiba-tiba wanita yang sedari tadi mengikuti dan menyuruhku turun— ikut masuk kedalam kamar. Dengan terengah-engah ia menutup lalu mengunci pintunya. Tak puas dengan hanya menguncinya, wanita itu berusaha menarik meja untuk mengganjalnya.

“ada apa?” aku menghampirinya.
“saat aku ingin turun, diujung anak tangga aku melihat ada wanita sedang berdiri disana. Semula aku pikir dia adalah temanku, tapi setelah aku perhatikan ternyata bukan. Ia menatapku dengan mata merah darahnya. Ekspresinya terlihat sangat marah...”

Mendengar hal itu aku pun ikut panik.
“kalau begitu jangan gunakan meja ini, pertama-tama kita tarik lemari itu dulu baru setelah itu mengganjalnya kembali dengan meja ini”
“benar !”
Bersama-sama kami menarik lemari yang berada disisi kiri pintu, mendorongnya sekuat tenaga hingga mengganjalnya kembali dengan meja belajar.

Selesai mengganjal pintu aku dan wanita itu menduduki kasur dengan sprei berwarna oranye-nya itu. Aku berdo’a dengan membaca beberapa surat pendek Alqur’an yang aku hafal.

Wanita itu kebingungan melihatku menggumamkan bahasa yang tidak ia mengerti, namun aku tak menghiraukannya dan tetap membaca surat Al-Qur’an.

“hei, apa kau tahu tentang pemilik kamar yang kita masuki ini?” tanyaku masih sambil membaca do’a dalam hati.
“aku tidak tahu… aku baru kali ini naik kesini.”
“…jangan-jangan pemilik kamar ini adalah wanita yang kau lihat diujung tangga tadi…”

“entahlah…”

#To be continued

SORRY . . . (Part 7)

“entahlah…”

Aku terdiam memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Meskipun tak ada tanda-tanda akan ada yang masuk kekamar tapi tetap saja ada perasaan tak nyaman dalam diriku.

“apa yang akan terjadi pada dirimu, jika kau ku tinggal sendiri disini?”
“maksudmu kau akan meninggalkanku?”
“aku tidak tahu, aku hanya bertanya…”

Wanita itu terdiam, mungkin memikirkan apa yang akan ia lakukan jika hanya sendiri didalam sini.

Aku kembali membaca ayat-ayat suci Al-qur’an… lalu tiba-tiba
Sekelilingku menjadi gelap gulita. Aku tak bisa melihat apapun.

Aku berusaha tenang dalam kepanikan. Mencoba berpkir apa yang harus kulakukan.

Lima detik kemudian, perlahan namun pasti aku membuka kedua mataku dan melihat sinar lampu diatasku. Ku tatap sekitarku, dan mendapati diriku tengah dalam posisi berbaring diatas tempat tidur yang mirip dengang tempat tidurku. 

Dan setelah ku telisik seluruh ruangan, aku pun tahu bahwa sudah berada dalam kamar.

Aku berdiri lalu membuka pintu dan melihat indahnya suasana pagi.

“syukurlah, ternyata hanya mimpi…”

Tapi terlintas dalam pikiranku mengenai keadaan wanita yang ikut bersamaku didalam mimpi tadi.

Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia bisa bertahan? Apakah dia bisa kembali turun kelantai dasar? Ataukah terjebak dalam kamar itu?

Entahlah. . .

Yang pasti aku berharap tidak lagi datang ketempat itu.

Namun meskipun hanya sebuah mimpi, aku masih berharap wanita itu akan baik-baik saja.

#The end