“gua tahu
tapi apapun penjelasan lu, gua tetep aja takut sama yang namanya makhlus
halus.”
“maaf,
ibu memotong pembicaraan kalian.” Ibu paruh baya itu melangkah kearah kami.
“sebenarnya
ada cara yang diyakini sesepuh kami agar bisa melewati jembatan dengan selamat,
dan memang pernah ada beberapa orang yang selamat.” Lanjut ibu itu.
“benarkah,
bu? Bagaimana caranya?”
“yang
pasti ketika ingin melewati jembatan itu jangan sendirian sebisa mungkin
bersama-sama orang lain. Selama perjalanan jangan lupa untuk terus berdo’a
meminta perlindungan sama Tuhan kalian dan mengobrollah satu sama lain.
Biasanya makhlus halus yang levelnya rendah tidak suka keramaian dan memilih
menghindar.”
“hanya
itu?” tanya ku
“belum.
Selama perjalanan jangan sekali-kali menengok ke kanan dan kiri apalagi
belakang, tetap fokus memandang kedepan kalau kalian tidak ingin melihat
penampakan.’
“lalu ada
lagi?”
“selama
perjalanan, usahakan jangan sampai terpisah satu sama lain sampai diujung
jembatan.”
“kalau
terpisah?” tanyaku
“bersiaplah menghilang seperti korban lainnya.”
Aku
bergidik ngeri dan terasa bahwa semua bulu kudukku telah berdiri yang kemudian
menyebabkan rasa gatal tak terkira.
“gimana,
Chie? Mau tetep nekat?” tanya Dian berbisik ditelinga kananku.
“kita gak
bisa lari lebih jauh lagi. Bisa-bisa kita malah ketangkep karena sudah
terlalu lelah berlari.” Bisikku.
Aku
melihat ada raut kekecawaan diwajahnya, namun aku tak peduli, aku ingin agar
kami segera pergi dari kampung ini. Secepatnya !
“kalian
sudah memutuskan?” tanya ibu paruh baya tersebut.
“Ya. kami
akan tetap melewatinya.” Ujarku
“sepertinya
kalian memang sangat terburu-buru,. Jika memang begitu, ayo kita ke jembatan.”
“ibu akan
mengantar kami?”
“tidak…
tentu saja tidak. Ibu hanya akan mengantar kalian dan mencarikan partner
perjalanan kalian sebanyak-banyaknya agar bisa sampai tujuan dengan selamat.”
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar