Yaa,
memang tak salah jika jalanan yang kami lewati terasa agak mencekam. Suasana
yang sepi ditambah pemandangan makam disisi kanan dan kiri kami menambah alasan
yang membuat bulu kudukku kembali berdiri.
“mudah-mudahan
gak ada apa-apa lagi deh. Bisa sampe jalan besar dengan selamet.” Ucapku.
Suasana
yang tadinya cerah berangsur-angsur redup layaknya senja.
“waduh,
jangan-jangan udah mau malem lagi nih ?!” tanyaku
“kita
mesti cepet, Chie…”
Aku dan
Dian kembali berlari, menyusuri jalan secepat yang kami bisa-- sebelum
datangnya malam.
Kedua
kakiku terasa sangat pegal, nafasku terasa sangat berat untuk mengambil oksigen
ditambah kepala dan dadaku yang juga semakin terasa sakit dan nyeri. Mungkin
ini adalah dampak karena kami terus melakukan pelarian sehari semalam.Tenggorokanku terasa sangat kering hingga terkadang ada rasa nyeri saat akan menelan ludah, ditambah
perut yang juga mulai menunjukkan gejala lapar.
Ya ALLAH,
sampai kapan kami melakukan pelarian ini.
Ujung
jalan…
ya ujung
jalan setapak ini mulai terlihat. Kami mempercepat langkah kami dan berhasil
keluar dari jalanan kemudian dihadapan kami terlihat pemandangan rumah-rumah
yang berjejer sangat rapi.
Kami
melangkah perlahan mencari jalan selanjutnya. Namun sejauh yang kami lihat
hanya sederetan rumah yang menempel satu sama lain. mataku mulai menyelidik.
“Chie,
kita istirahat dulu yaa. Gua capek banget, Chie. Kalo kita lari lagi kayaknya
gua bisa mati lemes.”
“ya udah
lo istirahat dulu aja disini. Duduk disini. Gua juga ngerasa orang-orang yang ngejar tadi udah kehilangan jejak kita.”
Dian
duduk tersungkur, sembari mengatur nafasnya, sesekali ia memejam-mejamkan kedua
matanya.
“gua keliling
sebentar ya, sambil cari jalan lain.” ucapku
“jangan
lama-lama, cepet balik. Gua gak mau sendirian disini.”
“oke.”
Dengan
perlahan, aku menyusuri jalanan tanah merah yang mengelilingi deretan rumah didepan
dan disisi kiri kananku. Aku belum melihat sebuah jalanan untuk kami lewati
selanjutnya, hingga….
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar