“jangan
lewati jembatan itu…. angker… angker…”
“Chie,
itu ada ibu-ibu… kita tanya ibu itu nanya jalan tembus ke jalan raya…” seru
Dian. Aku mengikuti langkahnya.
“Permisi,
bu…” sambil terengah-engah Dian menghentikan langkah sang wanita paru baya itu.
“njeh,
dek. Ada yang bisa ibu bantu???” sangat jelas terdengar dengan logat jawanya
yang sangat kental.
“maaf bu,
kami mengganggu sebentar. Ibu tahu gak jalan yang menuju jalan besar yang ada
angkutan umumnya??”
“oh iya
tahu dek. Kenapa adek mau kesana ya?”
“iya bu,
kami mau kesana. Udah berkali-kali kami mencari jalan umum itu tapi selalu aja
kembai ketempat yang sama. Ibu bisa tunjukkin jalannya gak bu? Dan kira-kira
apa masih jauh dari sini??”
Waahh,
Dian jago berbohong juga ternyata. Tapi kalo dipikir, akan jauh lebih baik kalau dia gak ngasih tahu situasi yang sebenarnya. Kalo sampai ibu ini tahu, kalo
kami dikejar-kejar massa karena tuduhan mencuri, heuu bisa-bisa mereka malah
membawa kami ke gerombolan massa itu.
“masih
jauh banget, dek. Adek mesti lewati jembatan itu dulu…” sembari menunjuk ke
arah jembatan yang berjarak 10 langkah didepan kami.
“Tapi….
bentar deh….. ngomong-ngomong soal jembatan, tadi kan suara-suara halus itu
ngsih tahu kalau jembatannya gak beres… angker… apa jembatan yang dimaksud
adalah jembatan yang akan kami lewati ini?? Ah, mudah-mudahan bukan…” aku
kembali berpikir positif.
Aku
berusaha dengan seksama mendengarkan instruksi ibu paruh baya itu.
“kalian
bisa aja lewat situ, dan memang jalan paling deket menuju jalan raya yaa dengan
melewati jembatan itu.”
“oh gitu
ya, bu… jadi kami hanya harus mengikuti arah jembatan itu kan, bu?” tanya Dian
untuk memastikan.
“iya…
tapi..” ibu paruh baya itu terlihat enggan meneruskan omongannya.
“tapi
kenapa, bu?” tanyaku penassaran.
“jembatan
itu angker…”
“angker?
Maskud ibu?” tanyaku lagi
“bukan hanya angker, tapi sangat angker dan sangat berbahaya.”
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar